19 Desember 2008

Awan

Di sebuah tempat nan jauh dari kota, tampak seorang pemuda bergegas
menuju surau kecil. Wajahnya menampakkan kegelisahan dan kegamangan. Ia
seperti mencari sesuatu di surau itu.
"Assalamu'alaikum, Guru!" ucapnya ke seorang tua yang terlihat sibuk
menyapu ruangan surau. Spontan, pak tua itu menghentikan sibuknya. Ia
menoleh ke si pemuda dan senyumnya pun mengembang. "Wa'alaikumussalam.
Anakku. Mari masuk!" ucapnya sambil meletakkan sapu di sudut ruangan.
Setelah itu, ia dan sang tamu pun duduk bersila.

"Ada apa, anakku?" ucapnya dengan senyum yang tak juga menguncup. "Guru.
Aku diterima kerja di kota!" ungkap sang pemuda kemudian. "Syukurlah,"
timpal sang kakek bahagia. "Guru, kalau tidak keberatan, berikan aku
petuah agar bisa berhasil!" ucap sang pemuda sambil menunduk. Ia pun
menanti ucapan sang kakek di hadapannya.

"Anakku. Jadilah seperti air. Dan jangan ikuti jejak awan," untaian
kalimat singkat meluncur tenang dari mulut si kakek. Sang pemuda belum
bereaksi. Ia seperti berpikir keras memaknai kata-kata gurunya. Tapi,
tak berhasil. "Maksud, Guru?" ucapnya kemudian.

"Anakku. Air mengajarkan kita untuk senantiasa merendah. Walau berasal
dari tempat yang tinggi, ia selalu ingin ke bawah. Semakin besar,
semakin banyak jumlahnya; air kian bersemangat untuk bergerak ke bawah.
Ia selalu mencari celah untuk bisa mengaliri dunia di bawahnya," jelas
sang kakek tenang. "Lalu dengan awan, Guru?" tanya si pemuda penasaran.

"Jangan sekali-kali seperti awan, anakku. Perhatikanlah! Awan berasal
dari tempat yang rendah, tapi ingin cepat berada di tempat tinggi.
Semakin ringan, semakin ia tidak berbobot; awan semakin ingin cepat
meninggi," terang sang kakek begitu bijak. "Tapi anakku," tambahnya
kemudian. "Ketinggian awan cuma jadi bahan permainan angin." Dan si
pemuda pun tampak mengangguk pelan.
**
Seribu satu harap kerap dialamatkan buat para pegiat kebaikan. Mereka
yang berharap adalah kaum lemah yang butuh perlindungan, kaum miskin
yang menginginkan bantuan, dan masyarakat awam yang rindu bimbingan.

Rangkaian harap itu berujung pada satu titik: agar mutu baik para pegiat
kebaikan tidak cuma berhenti pada diri si pelaku. Tapi, bisa mengalir ke
kaum bawah: membasahi cekungan harap yang kian mengering, dan
menghidupkan benih-benih hijau yang mulai menguning.
Sayangnya, tidak semua mutu pegiat kebaikan selalu seperti air yang
mengalir dan terus mengalir menyegarkan kehidupan di bawahnya. Karena
ada sebagian mereka yang justru sebaliknya, seperti awan yang kian
menjauh meninggalkan bumi. Seolah ada yang ingin mereka ungkapkan:
selamat tinggal dunia bawah; maaf, kami sedang asyik bercengkrama
bersama angin.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

sangat memberikan inspirasi banget deh..beneran...awalnya saya berpikir apa ya yg dimaksud sma guru itu...sebelum saya membacanya ke bawah...owh teryata seperti itu ya..sip sip...