18 Desember 2008

Fenomena Fabio Capello Sebagai Englishmen

London - Ini sudah satu tahun sejak seorang Italia bernama Fabio Capello dipilih sebagai manajer tim nasional Inggris. Sukses terbesarnya sejauh ini adalah dia mengingatkan semua orang bahwa dirinya yang paling menentukan.

Sejak ditangani Capello, berubahkah gaya permainan Inggris? Tidak. Lebih hebatkah tekhnik dan ketrampilan pemain Inggris? Tidak. Meningkatkah pemahaman pemain Inggris akan siasat dan strategi permainan? Tidak.

Jadi? "Ketika untuk pertama kalinya saya memegang tim nasional bertanding melawan Swiss, barulah saya tahu apa yang salah dengan tim ini,'' aku Capello. "Saat berlatih, tekhnik dan fisik pemain sungguh fantastis, tetapi begitu turun ke lapangan saya seperti melihat sekelompok pemain yang berbeda. Saat itulah saya tahu problemnya ada di kepala mereka."

Salah satu teka teki besar di Inggris ini adalah bahwa pemain Inggris bisa tampil luar biasa setiap minggu untuk klub mereka tetapi begitu tampil di tim nasional seolah kemampuan mereka lumer begitu saja. Sebelum-sebelumnya yang selalu disalahkan adalah ketidakmampuan manajer tim nasional untuk menemukan sistem permainan yang cocok untuk memaksimalkan sekumpulan pemain bagus itu.

Capello menyebut alasan itu omong kosong dan mengatakan pemain bagus akan selalu bisa beradaptasi dengan sistem apapun yang diinginkan manajer. Kalau tidak, maka gugurlah sebutan pemain bagus itu. Ia, seperti yang kemudian ia temukan di pertandingan melawan Swiss, menganggap persoalannya adalah rasa percaya diri. Yang ia kemudian coba pecahkan adalah mengapa rasa kurang percaya diri itu muncul dan bagaimana mengatasinya.

Catatan setahun pertama kerjanya adalah pada persoalan ini. Sementara hasil di lapangan adalah sekadar konsekuensi logis dari berhasil tidaknya ia mengurai persoalan itu.

Capello sejak awal sekali menekankan bahwa ia adalah penentu kata akhir apakah pemain bermain buruk atau bagus. Ia menuntut pemain untuk tidak memperhatikan apa kata media yang selalu melakukan penilaian per pertandingan.

Walau tidak pernah mengatakan secara langsung, dalam banyak hal Capello menyalahkan media sebagai pihak yang memahatkan rasa tidak percaya diri pada pemain. Mereka, media, dengan berlebihan melambungkan tim nasional ke awang-awang ketika bermain bagus, tetapi membantai habis-habisan ketika bermain buruk.

Akibatnya muncul semacam atmosfer ketakutan pada apa kata media setiap kali mereka turun ke lapangan. Dan percayalah, media Inggris ini sangat kejam bila membantai pemain mereka sendiri. Akibat lebih lanjut lagi tim nasional seperti bermain untuk menyenangkan media dan bukannya untuk kebanggaan negara. Satu alasan mendasar yang salah bagi pemain ketika turun ke lapangan.

Capello tidak sekadar menuntut pemain untuk bersikap seperti itu. Tetapi ia sendiri memberi contoh tentang mengabaikan sikap media itu. Kritik apapun yang ditimpakan padanya selalu ditanggapi dengan sikap, "aku bekerja bukan untuk kalian, dan karenanya aku tidak perlu mempertanggungjawabkan pekerjaanku kepada kalian."

Capello merasa mulai berhasil mengubah sikap pemain justru bukan saat Inggris bermain bagus atau memenangkan pertandingan, tetapi justru ketika kalah dalam pertandingan persahabatan 0-1 melawan Prancis.

Media Inggris menyebut pertandingan itu membosankan, pemain Inggris tak punya semangat, kalah kelas, kalah taktik, dan kalah strategi. Tak beda dengan tim-tim Inggris sebelumnya. Capello berkata, "Mereka runner up Piala Dunia. Dan permainan kalian menandingi mereka. Kalian, kita, semakin baik, meningkat, dan maju." Betapa beda penilaian media dan Capello. Dan Capello mengungkapkan penilaiannya itu secara terbuka tak peduli apa kata media. Pemain pun seperti tersadarkan untuk siapa mereka bermain.

Langkah lain Capello adalah membongkar aristokrasi pemain elit Inggris dan mengembalikan sistem meritokrasi seperti seharusnya. Nama besar pemain kalau sedang tidak bagus maka akan ia buang. Contoh klasik adalah Michael Owen.

Berulangkali di masa lalu Owen, asal sehat dan tidak cedera, akan secara otomatis dipanggil tim nasional. Tetapi sudah setahun terakhir, walau beberapa bulan di antaranya disebabkan oleh cedera, tidak pernah dipanggil oleh Capello. Ia mengatakan tidak menutup pintu untuk Owen, tetapi pada saat bersamaan mengatakan semua pemain Inggris mempunyai kesempatan untuk masuk tim nasional, siapapun dia.

David Beckham, walau sudah diberitahu kalaupun dipilih tidak akan menjadi pemain inti, bersedia bersusah payah menjadi pemain pinjaman di AC Milan. Ia tahu Capello seperti apa karena pernah bermain untuknya di Real Madrid.

Bukan hanya pada pemain dan media Capello bersikap tegas. Terhadap klub-klub Inggris ia menunjukkan siapa yang sebenarnya berkuasa. Sama dengan sikapnya terhadap media, Capello walau mengerti harus bekerja sama dengan berbagai klub yang ada, tetapi juga melihat klub sering egois dan tidak mau berkorban demi tim nasional.

Di masa lalu terlalu sering manajer tim nasional seperti tunduk dengan manajer klub, terutama klub besar. Klub dengan mudah menarik pemain mereka dari pertandingan persahabatan dengan alasan cedera. Klub cukup mengirimkan surat dari dokter klub tentang yang dialami pemain itu.

Kini surat dokter klub tidak cukup. Pemain yang dipanggil tim nasional kalau berhalangan karena cedera harus juga diperiksa tim kesehatan tim nasional. Barulah diputuskan apakah pemain yang bersangkutan memang layak istirahat. Capello mengancam, pemain yang enggan memenuhi tuntutan persyaratannya tidak akan lagi dipanggil selama ia memegang tim nasional.

Tak heran kalau pernah pemain sekaliber Steven Gerrard bersedia pulang balik sejauh 750 kilometer hanya untuk membuktikan ia memang cedera. Liverpool sangat marah karena Capello tidak mempercayai dokter klub, tetapi tidak mampu berbuat apa-apa.

Capello tidak peduli bahwa kebijakan-kebijakannya membuatnya tidak disukai banyak pihak. Sejak lama, sejak ia pertama kali merintis karir sebagai manajer sepakbola, ia tahu tidak sedang beramah-tamah untuk mendapat teman baru. Yang ada dibenaknya hanyalah bagaimana ia bisa sukses memenuhi tuntutan kontraknya. Dan ia akan dinilai berdasar hasil kerjanya, bukan berapa banyak teman yang ia dapat. Setahun pertama memegang tim nasional Inggris, harus diakui nilainya memang memuaskan.

Tidak ada komentar: